[ Review Buku; Perempuan di Titik Nol ] Feminisme yang Menemukan Rumahnya


Review Buku
Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Shaadawi
Oleh: Rolyta Nur Utami
 
 

Adakah kabar kematian yang senada dengan bunyi kemenangan?

Maka dalam Perempuan di Titik Nol, Nawal El-Shaadawi menjawabnya dengan kata, "ada". Adalah Firdaus, seorang gadis--yang berhasil bertransformasi menjadi seorang wanita--yang menemukan jati dirinya di halaman terakhir kisah yang penuh lika-liku dan cenderung tidak adil, bahkan menurut saya yang notabenenya adalah seorang pembaca.

Nawal El-Shadawi berhasil memaparkan betapa bobroknya moralitas kehidupan yang dipimpin oleh kaum adam di tanah Mesir lewat kisah Firdaus, yang bahkan mengawali masa kanak-kanaknya dengan berbagai pelecehan-pelecehan kecil, atau tentang ketidakmengertian jiwa kanak-kanaknya tentang mengapa ia dan ibunya harus menahan lapar sementara Ayahnya makan dengan sangat-sangat cukup.

Terbit perdana pada tahun 1975, novel yang pada dasarnya diangkat dari sebuah kisah nyata ini sangat terlihat jelas mengangkat isu feminisme dan status darurat hak perempuan di tanah Mesir, penyalahgunaan hak atas dasar 'lebih tinggi' pada kaum lelaki membuat hak kaum perempuan terampas, bahkan menimbulkan banyak penindasan yang akhirnya menjadi hal yang umum, seperti bagaimana cara perlakuan suami terhadap sang istri yang dianggap suatu kewajaran saat sang istri mendapat perlakuan kasar, baik dari segi fisik, maupun perkataan.





Hal-hal seperti ini, yang memberi tempat yang tepat di mana seharusnya feminisme layak untuk diperjuangkan. Selain menguak kebobrokan dari kepemimpinan kaum lelaki kala itu, urgensi dunia pelacuran juga dikuak oleh Nawal dalam novelnya.

Firdaus dengan problemanya yang tidak jauh-jauh dari tubuh, penyiksaan fisik, dan ranjang, banyak mencari jati dirinya dan hakikat perempuan yang telah tertakdir lewat segala peristiwa dan kilas balik masa lalu. Di titik tertinggi, profesi pelacur kelas kakap membuatnya terlihat bernilai di mata lelaki-lelaki yang dulu kebanyakan menganggapnya remeh, namun lagi-lagi persepsi itu meleset ketika ia menyadari bahwa profesinya pun tidak bebas ia lakoni. Germonya yang lagi-lagi seorang lelaki, memaksanya untuk tinggal dan memintanya untuk ada dan tetap dibayar.

Nawal, berhasil masuk ke kedalaman kisah lewat mata Firdaus yang bahkan menolak grasi. Baginya, kematian adalah kabar kemenangan yang paling layak ia dengar seumur hidup. Karena pada saat itu, ia tidak hanya membunuh satu kaum yang selama hidupnya tidak berhenti untuk menyakiti, ia juga telah membunuh lingkaran hitam yang selalu ia jumpai dalam rasa takutnya.


*
 Review ini adalah bentuk kegiatan dari hasil membaca dari project G-1/100 Revolution

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.